Gue nggak tahu sejak kapan kita semua mulai terobsesi sama istilah "minat baca." Kayaknya tiap Hari Buku Nasional, atau seminar pendidikan, atau apapun yang berbau literasi, pertanyaannya selalu itu-itu aja: "Gimana cara menumbuhkan minat baca anak muda?" Tapi pernah nggak sih kita mikir: "Emang bener yang harus dibangun itu minat baca? Atau jangan-jangan, minat itu sendiri yang belum ada?"
Tapi gue pernah nonton Panji Pragiwaksono bilang sesuatu yang ngehantam banget: "Daripada kita ribut nanya gimana menumbuhkan minat baca, mending ubah pertanyaannya jadi gimana cara menumbuhkan minat. Titik." Dan jujur, gue ngerasa itu lebih jujur dari semua retorika pemerintah soal budaya literasi.
Minat Itu Akar, Baca Itu Ranting
Mau sepintar apapun lo ngedesain perpustakaan kekinian, atau bikin acara book fair semeriah konser, kalau orangnya nggak punya minat, ya tetap nggak akan nyentuh buku. Sebaliknya, orang yang punya minat, bahkan cuma dikasih PDF lusuh aja, dia bakal baca. Karena dia butuh. Karena dia pengen tahu.
Dan itu poin pentingnya: rasa ingin tahu.
Kita nggak bisa minta orang buat suka baca, kalau mereka sendiri nggak tahu apa yang bikin mereka penasaran. Makanya, buat gue, pertanyaan paling masuk akal tuh bukan "gimana cara bikin orang suka baca?" Tapi lebih ke, "gimana cara bikin orang sadar kalau ada hal yang bikin mereka penasaran?"
Orang Bakal Baca Kalau Butuh, Bukan Kalau Disuruh
Lo inget nggak pertama kali lo bener-bener baca sesuatu karena lo pengen, bukan karena tugas? Gue masih inget. Waktu itu gue lagi ngerasa hidup gue ribet banget, pikiran berantakan, dan akhirnya gue nemu buku "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" versi Indonesia-nya Mark Manson. Dari situ, gue dapet satu poin penting yang masih nempel sampai sekarang: kita itu emang nggak bisa bodo amat sama semua hal. Mau itu hal kecil atau besar, tetap aja kita bakal peduli. Dan justru dari situ kita harus milih hal-hal yang pantas buat dipeduliin.
Setelah itu gue juga baca bukunya Henry Manampiring, "Filosofi Teras." Dan di situ gue ketemu konsep Dikotomi Kendali, yang basically ngajarin kita buat bedain mana yang bisa kita kendalikan, dan mana yang nggak. Simpel, tapi ngena banget. Sejak itu, gue mulai lebih tenang ngadepin banyak hal.
Nah, dari situ gue sadar: baca itu efek, bukan sebab. Lo minat, lo baca. Lo pengen tahu, lo cari tahu. Dan lo sadar, pada akhirnya semua itu nggak jauh-jauh dari teks. Mau itu artikel, caption panjang, utas Twitter, atau buku fisik—semua mengarah ke bentuk literasi.
Sistem Pendidikan Kita Sering Keliru Titik Fokus
Yang jadi masalah adalah, sistem pendidikan kita masih nempelin "membaca" sebagai tujuan, bukan proses. Makanya jadi beban. Anak-anak disuruh baca novel klasik yang mungkin nggak relate sama mereka. Di sisi lain, mereka dilarang baca komik, wattpad, atau cerita ringan yang justru bisa jadi pintu masuk ke dunia literasi.
Ini kayak nyuruh orang lari maraton, padahal dia bahkan belum bisa jalan.
Platform Visual Bukan Ancaman, Tapi Jalan Masuk
Banyak yang bilang TikTok atau YouTube bikin orang jadi males baca. Tapi buat gue, itu bukan ancaman. Itu potensi. Karena kadang justru dari video pendek, orang jadi minat ke sesuatu. Dari situ mereka cari tahu, dan ketemulah artikel, e-book, jurnal, atau apapun bentuk bacaan yang relevan.
Minat itu muncul dari pemicu. Dan kadang pemicunya bukan buku. Bisa jadi film, video, atau bahkan obrolan warung kopi. Yang penting, pemicunya harus relatable.
Validasi Minat Orang, Sekecil Apa Pun Itu
Gue sering lihat orang direndahin cuma karena bacanya komik atau cerita cinta. Padahal itu titik awal yang valid. Daripada orang nggak baca sama sekali, kenapa kita nggak dorong mereka untuk konsisten dari apa yang mereka suka?
Lo suka baca cerita misteri ringan? Sip, lanjut. Lo suka baca sejarah alternatif dari Reddit? Jalanin. Karena dari situ, minat bisa berkembang. Yang awalnya suka cerita cinta remaja, bisa jadi nanti tertarik sama psikologi. Yang awalnya suka horor, bisa jadi nyemplung ke filsafat kematian.
Dan semua itu dimulai dari validasi: "minat lo itu sah, dan boleh lo dalami."
Jangan Paksa Anak Muda Suka Buku. Bikin Mereka Penasaran Dulu
Orang nggak akan lari ke buku kalau nggak tahu kenapa harus ke sana. Makanya, kita harus berhenti jualan "membaca itu penting" secara abstrak. Mulailah dari yang konkret:
Bangun penasaran mereka dulu.
Ekspos mereka ke banyak topik.
Biarkan mereka menemukan minatnya sendiri.
Dan jangan langsung judge bacaan mereka "nggak berkualitas."
Minat baca itu bukan soal "kapan lo mulai baca buku klasik." Tapi lebih ke, "apa lo pernah penasaran sama sesuatu dan nyari tahu lewat teks?"
Penutup: Minat Dulu, Baru Baca
Gue percaya, kalau kita beneran mau bangun budaya literasi, kita harus mulai dari satu hal sederhana: bantu orang nemuin minatnya dulu. Jangan terlalu fokus sama bacaannya. Fokuslah sama rasa ingin tahunya. Karena kalau minat udah tumbuh, baca akan ngikutin dengan sendirinya.
Dan itu berlaku buat siapa pun, termasuk lo, gue, dan generasi berikutnya.
"Minat adalah api, membaca adalah cahaya. Tapi tanpa apinya, lo nggak akan punya cahaya."
Itu yang harus kita camkan. Bukan sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar