Copywriting: Seni Jualan Lewat Kata-Kata

Gambar
Pernah nggak sih, pas scroll media sosial, tiba-tiba liat iklan yang bikin kamu kepo banget, terus tanpa sadar malah ngeklik? Atau pas baca deskripsi produk, kamu langsung mikir, “Wah, gue butuh ini!”? Nah, itu namanya kekuatan copywriting. Copywriting itu nggak cuma sekadar nulis biasa, bro/sis. Ini adalah seni menjual lewat kata-kata. Kalau beneran jago, tulisanmu bisa bikin orang yang awalnya cuma mampir doang, jadi langsung checkout barang! Menarik, kan? Copywriting Itu Apa, Sih? Oke, kita bahas dari dasarnya dulu. Copywriting itu intinya adalah teknik nulis buat bikin orang ngelakuin sesuatu. Misalnya: Beli barang. Klik tombol subscribe. Ikut daftar event. Biasanya copywriting muncul di mana-mana: iklan, deskripsi produk, email promosi, bahkan caption IG. Beda sama content writing yang lebih banyak kasih info atau cerita, copywriting punya satu tujuan utama: ACTION. Contoh simpel: Content writing: Artikel blog berjudul “Tips Rawat Kulit Glowing Ala Artis Korea”. Copywr

MANIS ASIN HIDUP (Cerpen)


Di sebuah rumah kontrakan tinggal lah dua orang pemuda bernama Mocin dan Lancrit. Mocin adalah seorang pria rantauan dari luar Jawa, sedangkan Lancrit adalah perantauan dari desa pelosok. Mereka berdua kuliah di tempat yang sama dan tinggal di satu kontrakan yang sama. Kehidupan mereka berdua bisa dibilang sangat bertolak belakang. Mocin yang hidup dengan segala kekurangannya alias miskin. Dan si Lancrit yang hidup dengan serba berkecukupan alias kaya. Pada suatu pagi si Mocin menangis sambil mengeluh mengenai hidupnya.

"Ya Allah laper banget, kepengin makan tapi gak punya uang.." Mocin mengeluh.

Dengan ekspresi wajah sedih sambil tiduran memeluk guling yang entah sudah berapa bulan tidak pernah dijemur. Dari luar kamar si Lancrit mendengar keluhan Mocin. Lalu menengok Mocin ke kamarnya. Dengan perasaan senang dan bahagia sekali, si Lancrit tak tanggung-tanggung mengejek si Mocin yang tengah kelaparan dan tengah bersedih menghadapi kesulitan ekonomi. Bukannya menolong malahan si Lancrit makin memanas-manasi si Mocin. Memang hobi Lancrit adalah mengejek si Mocin ketika berada di kondisi seperti itu.

"Heh, kamu kenapa? Pagi-pagi gini udah masang muka sedih, tiap pagi ngeluh mulu. Hidup itu harus banyak bersyukur. Kaya aku ini nih bahagia terus, kalo mengeluh terus hidupmu gak bakal maju-maju. Bakal sedih mulu ditambah ngenes! Hahaha, tapi aku seneng banget kalo kamu itu sengsara tiap pagi, kalo bisa sih tiap waktu dan selamanya. Hahaha."

Ucapan itu keluar dari mulut pedas si Lancrit yang membuat suasana semakin panas dan bercampur sedih bagi si Mocin. Lantas dia sedikit agak emosi dan langsung pergi ninggalin si Lancrit entah kemana akan pergi, pokoknya keluar rumah.

Sambil menggerutu Mocin berjalan sampai ke pinggir kali. Kemudian melihat batu dan menendangnya, sebagai pelampiasan atas perkataan si Lancrit.

"Mentang-mentang orang kaya, hidupnya seneng, apa-apa tinggal minta sama orang tua. Hidupnya enak, kalo ngejek seenaknya sendiri. Arrgghhh..!" Mocin kesal dan menendang batu kecil sampai batu itu jatuh ke sungai yang ditepi sungainya ada seseorang tengah memancing.

"Siapa yang melempar? Keluar sini? Gak liat ada orang mancing apa gimana sih?" Tanya si pemancing yang bernama mas Sastro dengan ekspresi sedikit kesal. Dia celingukan dan melihat Mocin berjalan sambil cengar-cengir melihat kaget kalau yang sedang mancing ialah mas Sastro. Orang yang cukup dihormati di komplek tersebut.

"Jadi kamu yang ngelempar batu tadi?" Mas Sastro bertanya ke Mocin dengan nada santai.

"Iya mas, maafin ya. Aku lagi kesel sama si Lancrit mas," Mocin curhat panjang ke mas Sastro. Kemudian mas Sastro menjawabnya dengan sedikit bercanda.

"Keselnya sama Lancrit emosinya sama saya. Ya tinggal pukul aja, gausah takut sama orang kayak dia," jawab mas Sastro.

"Gak ih, aku gak mau punya perkara, hidupku aja udah susah masa mau ditambah susah. Masa cuma gara-gara mukulin anak orang ntar aku dipenjara. Hidupku kok gini amat ya mas, bersahabat banget sama kemiskinan." Kata si Mocin sambil ekspresi heran dan sedih.

Lalu dengan santai mas Sastro menyuruh Mocin untuk lebih mendekat dan jongkok. Sembari mas Sastro mengeluarkan botol air dan gelas plastik yang dibawanya. Serta mengambil segenggam garam dan menuangkannya bersama segelas air. Lalu menyuruh si Mocin untuk meminum segelas air yang berisikan segenggam garam tersebut. Mocin yang melihatnya terheran-heran dan kaget saat disuruh untuk meminum apa yang mas Sastro sodorkan padanya.

"Nih minum," kata mas Sastro sambil menyodorkan segelas air garam itu.

"Yang bener aja mas?" Tanya Mocin ragu-ragu sambil menerima gelas tersebut.

"Udah cepet minum," perintah mas Sastro agar si Mocin segera meminumnya.

"Bruuuahhh, wlee..." Mocin mual dan mulutnya meludah terus terusan.

"Apa rasanya?" Tanya mas Sastro.

"Asin mas, pait banget!" Jawab Mocin dengan ekspresi agak kesal dan keringetan karena meminum segelas air yang diisi segenggam garam itu.

Kemudian mas Sastro mengambil lagi segenggam garam dan menaburkannya ke kali.

"Cin, sini saya kasih tau," perintah mas Sastro agar si Mocin mendekat padanya.

"Iya mas," Mocin lalu berjongkok di sebelah mas Sastro.

"Sekarang minum gih air kali ini," kata mas Sastro.

"Mas, aku emang orang susah, tapi tau mana yang bersih dan ngga bersih," Mocin mengelak.

"Udah cepetan, biar susahmu ilang!" Bentak mas Sastro menyuruh Mocin untuk meminum air kali itu.

Setelah Mocin meminum air sungai itu kemudian mas Sastro menjelaskan, kenapa dia menyuruhnya meminum segelas air garam dan juga meminum air kali yang ditaburi segenggam garam.

"Gimana rasanya masih asin?" Tanya mas Sastro kepada Mocin yang telah mrminum air sungai itu.

"Enggak mas," jawab Mocin sambil nyengir dan geleng-geleng.

"Nih Cin, kalo caramu ngadepin hidup kayak gelas plastik kecil tadi, garam segenggam bakal terasa asin, malah tadi sampe kamu bilang pait kan? Tapi kalo caramu ngadepin hidup kayak kali kaya air ngalir di kali ini, garam segenggam gak bakal terasa asin apa lagi pait," kata mas Sastro setelah Mocin merasakan kedua air itu.

"Berarti aku kudu kaya kali ya buat ngadepin hidupku ya," timpal Mocin.

"Nih lebarkanlah hatimu seperti kali, buat jiwamu seperti air kali yang mengalir yang ditaburi segenggam garam. Kalo kamu bisa bersikap kayak gitu, hidupmu bakal damai gak bakal susah," imbuh mas Sastro lagi.

"Owalah, makasih mas udah ngingetin aku. Ya udah mas aku mau balik ke kosan dulu. Selamat memancing ya mas, semoga dapet iwak banyak, assalamualaikum." Kata Mocin yang berterimakasih lalu berpamit kembali ke kosan.

"Waalaikumsalam," jawab mas Sastro.

Mocin kembali ke kosan dengan hati yang gembira. Raut wajah yang sumringah. Seperti orang gak punya beban sama sekali. Jalan santai saja sambil bersiul.

"Heh Cin, mau kiamat apa ya?" Tanya Lancrit karena heran melihat Mocin yang aneh.

"Ya hadapi saja hadapi. Tapi tumben kamu ko ngomong kayak gitu?" Tanya Mocin.

"Lah kan kalo mau kiamat biasanya muncul fenomena-fenomena aneh lah," tegas Lancrit.

"Contohnya apa?" Tanya Mocin.

"Contohnya ya, ada orang yang biasanya ngeluh bersedih tiba-tiba itu jadi riang gembira. Kayak kamu ini lagi kenapa sih?" Tegas Lancrit dan bertanya kenapa bisa berubah secepat itu.

"Aku tadi ketemu orang hebat Crit," kata Mocin.

"Ketemu siapa sih? Trus kamu diberi apa aja?" Tanya Lancrit.

"Hemm kepo pisan, ya dikasih macem-macem lah. Meskipun tampannya pas-pasan. Tapi otaknya jos pisan Crit. Makanya aku sekarang jadi begini. Apa-apa dibawa santai. Udah gak mau ngeluh lagi aku mah," kata Mocin dengan santainya membuat lancrit semakin penasaran dan emosi.

"Kamu gitu amat si! Siapa sebenernya yang membuat kamu berubah gini sih?!" Tanya Lancrit dengan nada emosi.

"Sana temuin sendiri lah di pinggir kali, orangnya lagi mancing tuh disana," ucap Mocin sembari jalan menuju dapur untuk menaruh gelas.

Tak lama kemudian Lancrit bergegas ke sungai dengan maksud menemui si tukang mancing yang tak lain adalah mas Sastro.

"Oh jadi kamu yang ngajarin Lancrit mas?!" Tanya Lancrit dengan nada emosi yang membuat mas Sastro sedikit kaget.

"Ada apa Crit, santai napa," tanya mas Sastro dengan santai.

"Kamu yang ngajarin Mocin biar gak ngeluh lagi apa mas?" Tanya Lancrit dengan ekspresi kecewa dan marah.

"Lah kok mukamu cemberut?" Ledek mas Sastro.

"Mas tau gak? Sebelum mas ngajarin filosofi garam ke Mocin. Pagi ini aku tuh bahagia banget. Tapi semenjak mas ngajarin itu ke Mocin, aku jadi kesel. Merasa kebahagiaanku hilang. Mocin itu satu-satunya bahan ledekanku mas, biar aku keliatan bahagia. Mocin itu orang yang bisa aku baanding bandingin manisnya hidupku sama getirnya hidupnya dia," kata Lancrit sambil marah marah.

"Crit, jangan kayak gitu. Sini saya kasih tau sesuatu," kata mas Sastro dengan nada santai tanpa rasa apapun. Kembali mas Sastro mengambil air bening segelas dan segenggam gula lalu dimasukannya ke dalam segelas air itu.

"Crit, nih minum," mas Sastro menyodorkan segelas air itu.

"Apa si itu mas?" Tanya Lancrit.

"Udah cepetan diminum, itu biar emosimu ilang," jelas mas Sastro.

"Oh gitu mas?" Tanya Lancrit yang kemudian langsung meminum habis segelas air manis itu.

"Gimana rasanya Crit?" Tanya mas Sastro.

"Ya jelas manis lah, orang gulanya aja segenggem," kata Lancrit dengan nada masih sedikit emosi dan penasaran apa lagi yang akan mas Sastro lakukan kepadanya.

Kemudian mas Sastro mengeluarkan semua barang yang ada didalam ember lalu mengisi ember itu dengan air kali sehingga ember itu setengah terisi air. Kemudian mas sastro mengambil segenggam gula dan memasukannya ke dalam ember berisi air itu.

"Nih minum lagi, jangan diabisin itu air kali," perintah mas Sastro.

"Yang bener aja mas, masa aku disuruh minum air kali," Lnacrit semakin marah tapi penasaran juga.

"Udah cepetan, makanya jangan diabisin sih," jelas mas Sastro.

"Iya iya ini aku minum," Lancrit menenggak sekali air dalam ember itu.

"Gimana rasanya, masih manis" Tanya mas Sastro.

"Ya jelas engga lah, orang airnya setengah ember gede kaya gini, gulanya segenggem gimana mau manis!" Jelas Lancrit.

"Nih, Crit, hidup seneng itu ibarat kayak gula. Sedangkan hidup susah itu ibarat garam. Manis pait asin itu ada masanya, ada kadaluwarsanya. Semua tadi itu punya batas waktu. Jadi gak setiap saat kamu bakal ngadepin yang namanya hidup enak atau seneng terus. Kadang kamu harus merasakan susah juga. Tapi kalo caramu ngadepin hidup kayak gelas kecil tadi, gula segenggam bakal kerasa manis, manis banget malahan. Tapi ya kalo caramu ngadepin hidup kayak ember yang diisi air, gula segenggam pun bakal gak kerasa manis, hambar malah. Apa lagi kalo kamu ngadepin hidup kayak kali ini. Mau gula atau garam segenggam pun kalo di taburkan kesitu gak bakal kerasa asin ataupun manis. Paham?" Kata mas Sastro menjelaskan panjang lebar.

"Paham mas," Lancrit mengangguk dan merasa bersalah.

"Ya udah sana pulang. Saya mau lanjut mancing," kata mas Sastro menyuruh Lancrit pulang.

Lancrit lantas berpamitan dan merasa sedikit bahagia.

"Ya udah mas, aku pulang dulu," kata Lancrit yang bergegas bangun dari jongkoknya. Tapi sebelum melangkah, dia ingat bahwa ada sesuatu yang kurang.

"Mas?" Tegur Lancrit.

"Apa lagi?!" Jawab mas Sastro.

"Itu garam sama gulanya buat aku ya lumayan buat ngeteh ngopi sama masak, daripada dibuang-buang buat mancing," dengan pedenya Lancrit membawa pulang gula dan garam itu.

"Huuuu!" Kata mas Sastro.


SELESAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Kita Yang Terjebak Dogma - Quarter-Life Crisis

MELUKIS DUNIA DENGAN IRAMA KATA