Naiknya Konten Buatan AI: Sekilas Tentang Teknologi VO3 dari Google

Gambar
AI makin jago bikin konten, bahkan sampai kamu bingung ini nyata atau bukan. Google ngeluarin VO3, sebuah teknologi yang bisa bikin video sekelas Hollywood—tapi tanpa kru film, tanpa kamera, tanpa Will Smith beneran. Cuma... kode. Jadi, apa artinya ini buat dunia kreatif? Dan... ya, buat pekerjaan lo juga? Beberapa tahun terakhir, AI udah makin menggila. Nggak cuma sekadar ngerjain soal matematika atau ngingetin kamu minum air, tapi sekarang AI bisa bikin video yang kayaknya bisa bikin Spielberg garuk-garuk kepala. Lo mungkin udah lihat videonya Will Smith lagi makan spaghetti—yang sebenarnya, ya, bukan Will Smith. Itu AI. Dan, ya, itu cukup nyeremin dan keren di saat yang bersamaan. Will Smith, Spaghetti, dan Dunia yang Semakin Absurd Jadi gini: lo punya AI, lo kasih input "Will Smith + spaghetti", dan... boom, jadi. Mungkin nggak sempurna 100%, tapi udah cukup buat bikin orang bengong, “Serius ini bukan video beneran?” Dan yang gila, di 2024 dan 2025, versi-vers...

Trust Issue atau Caper Berkedok Luka?


Gue gak masalah sama orang-orang yang punya trauma dan luka. Gue paham, gak semua orang bisa sembuh dengan cara yang sama, dan gak semua luka harus kelihatan biar dianggap nyata. Tapi belakangan ini, istilah trust issue makin hari makin kehilangan makna. Bukan karena kondisi itu gak ada—tapi karena terlalu banyak yang pakai istilah itu buat branding diri di media sosial.

Kapan terakhir kali lo lihat seseorang bilang, “gue trust issue,” lalu diem dan berusaha menyembuhkan diri secara sehat? Gak banyak. Yang lebih sering gue lihat adalah: orang ngumbar trust issue-nya di caption, story, bahkan postingan panjang, seolah semua orang harus maklum dan ngasih validasi.

Padahal, orang yang bener-bener punya trust issue itu biasanya gak terlalu cerewet di depan publik. Mereka sibuk ngurusin luka mereka sendiri. Sibuk bertahan, bukan sibuk cari simpati. Mungkin mereka gak ngomong ke banyak orang, mungkin mereka gak bilang kalau mereka takut, sakit, atau merasa kesepian. Tapi mereka punya cara sendiri buat sembuh, entah itu diam, ngobrol sama orang terpercaya, atau bahkan pergi jauh untuk mencari ketenangan. Mereka sadar, luka itu gak butuh perhatian lebih—cuma butuh waktu dan ruang buat sembuh.

Gue jadi mikir, ini sebenernya orang trust issue atau cuma caper? Atau barangkali, mereka emang gak tau batas antara butuh pertolongan dan haus perhatian? Lo bilang lo trust issue, tapi setiap dua jam lo nulis status tentang itu. Di setiap postingan, lo seolah memberi petunjuk ke dunia: "Lihat, gue lebih rumit daripada yang lo kira." Lalu ketika orang mencoba mengerti, lo malah bilang mereka gak ngerti apa yang lo rasain.

Lo pernah berpikir, gak sih, bahwa dengan seringnya lo ngomongin ini, lo malah gak memberi ruang buat diri lo sembuh? Kayaknya lo lebih fokus untuk bikin orang tahu apa yang lo rasain ketimbang berusaha benar-benar keluar dari masalah itu. Dan akhirnya, lo jadi nyaman dalam kepedihan itu. Bukan karena itu bener-bener berat, tapi karena lo udah terlanjur keasyikan dengan perhatian yang datang dari situ.

Gue gak menyepelekan rasa sakit siapa pun. Tapi di era ini, terlalu banyak orang yang lebih milih nulis caption dramatis ketimbang duduk dan jujur sama diri sendiri. Ketimbang baca buku, ngobrol ke psikolog, atau bahkan sekadar ngobrol serius sama orang terdekat—mereka lebih milih likes dan komentar "semangat ya!"

Kenapa sih banyak yang ngerasa perlu banget buat diumbar ke semua orang? Kenapa harus ada perhatian dan simpati dari orang lain, padahal mereka sendiri belum siap buat bener-bener move on dan sembuh? Gue ngerti, perhatian itu enak. Validasi itu manis. Tapi masalahnya, ketika lo dapet perhatian atas luka lo, lo malah semakin terjebak di situ. Lo jadi gak bisa lepas dari trauma itu, karena lo gak pernah benar-benar belajar untuk menghadapinya tanpa ekspektasi dari orang lain.

Mungkin lo merasa sendirian. Mungkin lo merasa, "Aku udah berusaha sembuh, tapi gak ada yang ngerti." Tapi coba deh, tanya lagi ke diri lo, kalau lo terus-menerus ngomongin dan minta perhatian soal trust issue ini, apakah lo benar-benar ingin sembuh? Atau lo cuma ingin dilihat, dipahami, diberi perhatian lebih?

Kalau lo beneran trust issue, lo gak akan eksis terus di tengah keramaian. Lo gak bakal terus-menerus update status tentang rasa sakit lo. Lo akan fokus untuk menyembuhkan diri lo. Lo akan cari cara buat gak terus-menerus terjebak dalam bayangan masa lalu. Dan, mungkin lo bakal ngomong lebih sedikit, karena lo tahu luka itu lebih baik sembuh di dalam, bukan di luar.

Jadi coba tanya lagi ke diri kamu sendiri:

Lo beneran punya trust issue, atau lo cuma gak suka gak dipercaya?

Lo beneran luka, atau lo pengen terlihat rumit biar orang gak gampang ninggalin lo?

Lo pengen sembuh, atau lo menikmati perhatian dari luka itu?


Dan yang paling penting, lo siap gak untuk berhenti ngomongin masalah itu dan mulai sembuhin diri lo? Coba deh, lakukan itu—cari kebahagiaan, buat diri lo nyaman tanpa harus nyari simpati dari orang lain. Karena pada akhirnya, trust issue itu gak bakal hilang karena banyaknya perhatian. Itu cuma bisa hilang kalau lo mulai ngeliat ke dalam diri lo dan beneran berusaha sembuh.

Tulisan ini bukan buat nyindir siapa-siapa. Tapi kalau lo ngerasa tersindir, mungkin ada sesuatu yang perlu lo obrolin sama diri lo sendiri. Gue juga gak punya jawaban untuk sembuhin trust issue lo. Tapi mungkin yang bisa gue kasih tahu: sembuh itu bukan soal kelihatan baik di depan orang lain, tapi soal belajar buat merasa baik sama diri sendiri dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuma Nyebar link, Lo Bisa Dapet Tambahan Cuan! Baca Tutorial Lengkapnya!

MANIS ASIN HIDUP (Cerpen)

Minat Dulu, Baru Baca: Realita yang Sering Kita Lupakan