Minat Dulu, Baru Baca: Realita yang Sering Kita Lupakan

Gambar
Gue nggak tahu sejak kapan kita semua mulai terobsesi sama istilah "minat baca." Kayaknya tiap Hari Buku Nasional, atau seminar pendidikan, atau apapun yang berbau literasi, pertanyaannya selalu itu-itu aja: "Gimana cara menumbuhkan minat baca anak muda?" Tapi pernah nggak sih kita mikir: "Emang bener yang harus dibangun itu minat baca? Atau jangan-jangan, minat itu sendiri yang belum ada?" Tapi gue pernah nonton Panji Pragiwaksono bilang sesuatu yang ngehantam banget: "Daripada kita ribut nanya gimana menumbuhkan minat baca, mending ubah pertanyaannya jadi gimana cara menumbuhkan minat. Titik." Dan jujur, gue ngerasa itu lebih jujur dari semua retorika pemerintah soal budaya literasi. Minat Itu Akar, Baca Itu Ranting Mau sepintar apapun lo ngedesain perpustakaan kekinian, atau bikin acara book fair semeriah konser, kalau orangnya nggak punya minat, ya tetap nggak akan nyentuh buku. Sebaliknya, orang yang punya minat, bahkan cuma dika...

Ketika Ladang Cuan Mereka Kering, Kita yang Disiram Sampahnya

Gue nggak tau harus ketawa atau prihatin. Tiap buka Twitter, yang nongol bukan lagi orang curhat, orang diskusi, atau orang ngelempar insight. Yang nongol tiap scroll justru orang yang sama, dengan pola yang sama, template yang sama, caption yang gitu-gitu aja, tapi sekarang beda—mereka lagi ngeluh. Kenapa? Karena ladang cuan mereka lagi kering. Gaji Twitter mereka mandek. Ada yang dipause, ada yang cairnya dikit, ada yang hilang total.
Dan gue cuma bisa mikir, "Loh, kirain kalian ngonten itu karena passion?"


Satu sisi, gue ngerti ya, orang kerja pasti pengen hasil. Punya target, punya kebutuhan. Tapi sisi lain, gue juga ngelihat cara mereka ngurus akun tuh udah kayak pabrik. Ada yang punya 3-5 akun centang biru. Ada yang ngaku di bio 'influencer, digital creator' padahal captionnya cuma ngedit dikit dari copas orang. Ada yang lebih niat lagi, rekrut admin buat ngurus akun-akun mereka yang centang biru semua, biar bisa 'nambang' cuan lebih banyak. Petani engagement, istilahnya.
Ada grupnya, ada jam kerjanya. Lo pikir tadi gue becanda pas bilang 'jam kerja'? Nggak, 06.00-18.00. Auto-post, sirkel support, like-retweet-comment dari grup yang sama, muter-muter di lingkaran itu-itu aja. Pernah nggak sih kalian mikir, kalian tuh bikin karya apa sebenernya? Kalian tuh ngobrol sama siapa sebenernya? Audience atau temen grup?
Dan pas duitnya mandek, pada ribut. Pada ngeluh. Pada bikin thread panjang soal ketidakadilan platform, pada sindir Elon, pada ngasih tips biar tetep 'survive' jadi kreator. Tapi gue, orang yang tiap hari dicekokin konten daur ulang kalian, malah mikirnya beda:
"Gimana kalau nanti fitur ini dimatiin permanen? Masih mau main di sini nggak? Masih mau jadi kreator nggak? Masih bisa mikir nggak kalau ladangnya ditutup?"
Karena jujur aja, sebagian dari mereka tuh bukan kreator. Mereka tukang tambang. Yang diincer bukan interaksi sehat, bukan ide segar, tapi angka. Angka di dashboard, angka di saldo.


Kalau dulu orang nanem ide, nunggu panen apresiasi, mereka sekarang kayak petani sawah yang nggak peduli kesuburan tanah. Tanahnya disemprot pestisida engagement biar cepat panen, tapi nggak peduli nanti tanahnya mati. Dan ketika hujan cuan nggak turun, ladangnya nggak ditumbuhi hasil. Malah kering, retak-retak. Sayangnya, sebelum mereka sadar tanahnya mati, mereka udah siram kita tiap hari pakai spam pupuk yang baunya nyampah.
Gue cuma user biasa. Gue nggak punya ladang. Gue main di sini cuma kayak orang main voli di lapangan kampung. Lempar-lempar bola ide, ketawa, kadang ribut kecil tapi cair. Tapi sekarang, lapangan kampung kita dipake alat berat mereka buat ngebor tanah cari emas. Mau main malah diinjek. Mau ngobrol malah keganggu suara mesin. Yang dulu sosial, sekarang industri.


Yang paling gue takutin itu bukan mereka nggak gajian. Jujur aja, bodo amat. Yang gue takutin itu, mereka nggak siap kalau cuannya ilang total. Karena dari awal, mereka nggak ngembangin skill lain. Mereka nggak ngurus komunitas sehat. Mereka nggak asah kreativitas. Mereka cuma ngurus metrik, ngurus algoritma.
Dan kalau ladangnya ditutup, sebagian dari mereka bakal ambruk. Karena mereka udah kadung nyemplung terlalu dalam. Nggak ada pegangan lain. Nggak ada lahan cadangan. Kalau sosial media nggak bayar, mereka nggak tau mau kemana.
Gue nulis ini bukan buat nyinyir doang. Gue nulis ini biar kalian mikir. Kalau kalian ngonten cuma buat metrik, dan lupa bangun nilai, lupa bangun koneksi beneran, ya jangan kaget kalau nanti tinggal bangunan kosong yang kalian punya. Yang pernah rame, tapi sekarang sepi dan ditinggalin.


Gue nggak benci sama orang cari uang. Gue benci sama cara orang ngerusak ekosistem demi uang.
Dan kalau nanti ladang kalian tutup beneran, kalian panik lagi, gue cuma mau bilang:
"Selamat datang di dunia orang biasa, yang main sosmed bukan buat ngejar centang biru dan invoice, tapi cuma buat ngobrol, ketawa, mikir, dan nulis. Hal-hal yang kalian lupakan sejak kalian sibuk ngejar engagement."

Follow X/Twitter gue 👉 Matt

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuma Nyebar link, Lo Bisa Dapet Tambahan Cuan! Baca Tutorial Lengkapnya!

MANIS ASIN HIDUP (Cerpen)

3 SERANGKAI [UNDANGAN PESTA]