Lo pernah nggak sih, ngerasa timeline sekarang udah kayak pameran topeng? Semua rame, semua berwarna, semua saling sorak-sorai, tapi kalau lo amatin pelan-pelan... sepi. Hampa. Palsu. Kayak makan permen karet basi—manisnya tinggal sisa, teksturnya bikin eneg. Gue sering duduk diem, scroll pelan-pelan, sambil mikir: “Ini sebenernya pada bikin apa sih? Pada nyari apa sih?”
Dan di tengah hiruk pikuk itu, ada satu pola yang dari dulu nggak pernah gue cocok: akun-akun sirkel support. Akun-akun yang seolah hidupnya cuma buat validasi silang. Lo like gue, gue reply lo, lo retweet gue, gue quote lo. Semuanya terstruktur rapi kayak simbiosis mutualisme. Tapi nggak ada yang jujur di situ. Bukan karena kontennya layak, tapi karena mereka punya kontrak tak tertulis: lo dukung gue, gue dukung lo. Sekarang tambah lucu, ada gajian. Ada centang biru premium yang mereka pasang bukan buat integritas karya, tapi buat memperlancar algoritma. Jadi bukan cuma sirkel interaksi, tapi sirkel transaksi.
Dan makin ke sini, mainnya makin canggih. Nggak cukup satu akun centang biru, mereka bikin banyak. Lima, sepuluh, dua puluh akun. Semua centang biru. Semua main dalam jaringan yang sama. Bahkan saking niatnya, mereka rekrut admin-admin buat ngurusin akun-akun itu. Admin yang kerjanya bukan bikin karya, tapi muter-muterin engagement. Balas reply, quote sana-sini, jaga ritme impresi. Istilah kasarnya sih petani engagement. Mereka nyebar benih likes, panen views, dan jualan metrik. Nggak heran kalo tiap bulan ada aja yang pamer: "Cuan dari Twitter bulan ini sekian juta." Padahal kalau dilihat dalem-dalem, semua itu bukan karya. Itu mesin. Itu pabrik angka.
Dan yang lebih bikin miris, mereka punya keberanian pasang bio yang bombastis. "Digital creator." "Influencer." "Content strategist." "Business inquiries DM." Padahal isinya? Postingan comotan yang diganti font, diganti warna, atau ditambah emotikon. Nggak lebih. Tapi pede. Segitunya pede. Kadang gue mikir, apa mereka beneran nggak pernah diem sejenak nanya ke diri sendiri: “Apa yang udah gue bikin? Apa yang bisa gue warisin selain likes dan centang biru?”
Gue? Gue duduk di sudut ruangan ini. Gue diem. Gue mikir. Karena pikiran gue bercabang ke mana-mana. Gue nggak bisa kayak mereka yang simpel mikir: “Yang penting rame.” Gue selalu mikir: “Ini gue nggak nyuri gagasan orang kan? Ini ada lapis makna yang bisa nyangkut kan? Ini beneran dari kepala dan hati gue kan?”
Kadang gue ngerasa capek sendiri. Karena kalau lo tipe orang yang pikirannya bercabang kayak gue—lo nggak bisa nyaman hidup di sistem yang lurus dan sempit kayak sirkel support. Kita mikir terlalu banyak layer. Kita nggak puas cuma repost atau niru dikit. Kita mikir, “Apa dampaknya buat yang baca? Apa etis gue comot gini? Apakah gue nge-recycle atau gue beneran nambahin makna?” Dan jawaban kayak gitu jarang ada di sirkel mereka. Karena yang mereka cari bukan makna. Yang mereka cari cuma metrik.
Dan yang bikin gue makin mikir dalem, kalau suatu hari platform ini dimatiin, kalau angka-angka itu ilang, kalau fitur centang biru dicabut, kalau bonus impresi dihapus—apa yang tersisa dari akun mereka? Feed penuh copasan? Interaksi kosong? Screenshot metrik? Apa itu yang bisa mereka tunjukin ke anak mereka nanti? Apa itu yang mau mereka kenang? Dan yang lebih nyeremin lagi: apa mereka pernah mikir soal itu? Apa mereka siap kalau ladang yang selama ini mereka garap tiba-tiba kering? Atau mereka bakal bingung, kaku, dan akhirnya nyari ladang baru buat ditanami metrik lagi?
Gue mulai ngebayangin. Kalau satu saat algoritma berubah. Kalau satu saat fitur centang biru yang mereka banggakan itu dihapus. Kalau sistem monetisasi dimatiin. Kalau views dan likes nggak dihitung lagi. Kalau audiens mulai bosen sama konten hasil comot. Kalau semuanya balik ke dasar: siapa yang bener-bener punya sesuatu buat disampaikan? Siapa yang masih mau nulis, bikin, mikir, meskipun nggak ada impresi? Mungkin saat itu bakal keliatan, mana yang kreator beneran, mana yang cuma petani angka.
Gue nulis ini bukan karena sirik. Bukan karena nggak bisa main kayak mereka. Justru karena gue tau cara mainnya, makanya gue muak. Gue nggak mau jadi bagian dari arus yang cuma ngejar angka tanpa isi. Gue nggak mau karya gue jadi setipis feed yang bisa diswipe dalam 0,2 detik.
Dan buat lo yang kayak gue, yang pikirannya bercabang, yang nggak bisa diem cuma ngeliat permukaan, tenang. Kita emang beda jalur. Kita nggak banyak, tapi kita ada. Kita yang masih mikir integritas. Kita yang masih mikir warisan makna. Kita yang masih pengen kalau ada yang tanya, "Apa yang udah lo bikin?", kita bisa nunjukin karya, bukan cuma angka.
Dan buat mereka yang bangga pamer centang biru, views ratusan ribu, bio sok keren padahal isinya comotan orang lain…
Semoga suatu hari nanti kalian sadar: angka bisa beli banyak hal, tapi nggak bisa beli rasa malu.
Dan kalau pikiran gue bercabang kayak begini bikin gue kalah rame, gue rela. Karena gue nggak mau hidup cuma jadi algoritma yang dibungkus ego.
Gue lebih milih kalah angka, daripada menang tanpa makna.
Komentar
Posting Komentar