Postingan

Kita Capek Sendiri Gara-Gara Pikiran Sendiri — Makna Kalimat Seneca yang Ngena Banget

Pernah nggak sih, lo capek mikirin sesuatu yang… sebenernya belum tentu kejadian? Gue sih sering. Dan gara-gara itu, pas nemu kutipan ini dari Seneca, gue ngerasa kayak ditempeleng halus: “We suffer more often in imagination than in reality.” – Seneca Gampangnya gini — kita tuh sering menderita duluan di kepala, padahal di dunia nyata belum ada apa-apa. Contohnya banyak banget: – Overthinking mau chat orang, takut nggak dibales. – Deg-degan mau presentasi, bayangin bakal nge-blank. – Khawatir besok dimarahin bos, padahal belum tentu. – Mikirin mantan yang udah nggak mikirin kita (nah lho). Padahal kenyataannya? Seringkali pas dijalanin, semuanya baik-baik aja. Nggak sehoror bayangan kita. Cuma pikiran sendiri yang doyan bikin drama, bikin skenario versi sinetron Indosiar. Gue jadi inget… beberapa kali gue batal ngelakuin hal penting cuma karena udah keburu capek mikirin “jangan-jangan” . Kayak misalnya, ada peluang kerjaan baru yang oke. Eh, gue malah mikirin: – Jangan-jangan nggak coc...

Ketika Ladang Cuan Mereka Kering, Kita yang Disiram Sampahnya

Gambar
Gue nggak tau harus ketawa atau prihatin. Tiap buka Twitter, yang nongol bukan lagi orang curhat, orang diskusi, atau orang ngelempar insight. Yang nongol tiap scroll justru orang yang sama, dengan pola yang sama, template yang sama, caption yang gitu-gitu aja, tapi sekarang beda—mereka lagi ngeluh. Kenapa? Karena ladang cuan mereka lagi kering. Gaji Twitter mereka mandek. Ada yang dipause, ada yang cairnya dikit, ada yang hilang total. Dan gue cuma bisa mikir, "Loh, kirain kalian ngonten itu karena passion?" Satu sisi, gue ngerti ya, orang kerja pasti pengen hasil. Punya target, punya kebutuhan. Tapi sisi lain, gue juga ngelihat cara mereka ngurus akun tuh udah kayak pabrik. Ada yang punya 3-5 akun centang biru. Ada yang ngaku di bio 'influencer, digital creator' padahal captionnya cuma ngedit dikit dari copas orang. Ada yang lebih niat lagi, rekrut admin buat ngurus akun-akun mereka yang centang biru semua, biar bisa 'nambang' cuan lebih ...

[EN] When Numbers Matter More Than Meaning

Gambar
You ever feel like your timeline’s turning into a masquerade? Everything looks loud, colorful, buzzing with applause—but if you really stop and look… it’s empty. Hollow. Fake. Like chewing old gum—there’s a hint of sweetness, but mostly, it’s just gross. I catch myself scrolling slowly, silently asking, “What are people even *doing* here? What are they chasing?” And in the middle of all that noise, there’s one pattern I’ve never really vibed with: support circles. You know the ones—where accounts exist just to boost each other. You like mine, I reply to yours, you retweet me, I quote you. It’s like a mutual validation ritual. But none of it’s honest. Not because the content’s good, but because there’s this silent contract: “You scratch my back, I’ll scratch yours.” And now it’s even weirder. People are getting paid. There’s that little blue check they pay for—not because their content has integrity, but because it helps grease the algorithm. So it’s no longer just interacti...

[ID] Ketika Angka Lebih Penting dari Karya

Gambar
Lo pernah nggak sih, ngerasa timeline sekarang udah kayak pameran topeng? Semua rame, semua berwarna, semua saling sorak-sorai, tapi kalau lo amatin pelan-pelan... sepi. Hampa. Palsu. Kayak makan permen karet basi—manisnya tinggal sisa, teksturnya bikin eneg. Gue sering duduk diem, scroll pelan-pelan, sambil mikir: “Ini sebenernya pada bikin apa sih? Pada nyari apa sih?” Dan di tengah hiruk pikuk itu, ada satu pola yang dari dulu nggak pernah gue cocok: akun-akun sirkel support. Akun-akun yang seolah hidupnya cuma buat validasi silang. Lo like gue, gue reply lo, lo retweet gue, gue quote lo. Semuanya terstruktur rapi kayak simbiosis mutualisme. Tapi nggak ada yang jujur di situ. Bukan karena kontennya layak, tapi karena mereka punya kontrak tak tertulis: lo dukung gue, gue dukung lo. Sekarang tambah lucu, ada gajian. Ada centang biru premium yang mereka pasang bukan buat integritas karya, tapi buat memperlancar algoritma. Jadi bukan cuma sirkel interaksi, tapi sirkel transa...

Namanya Juga Ngantuk

Namanya juga ngantuk, emang susah ditahan. Kayak lampu jalan yang padam sendiri, Kayak sinyal hape yang tiba-tiba ilang pas lagi penting. Tiap diajak nelpon, kelopak mata udah turun setengah. Katanya nggak mau begadang, kesehatan nomor satu. Tapi kok YouTube masih jalan? Tiktok masih ke-scroll? Gue masih nunggu? Namanya juga ngantuk, emang manusiawi. Tapi kok waktu luangnya pas mepet jam tidur? Mungkin emang kebetulan, Mungkin emang lagi capek, Atau mungkin… Emang gue cuma bisa kebagian sisa waktu yang hampir habis? Namanya juga ngantuk, emang harus istirahat. Gue sih ngerti, Cuma kadang lucu aja, Ngantuknya baru dateng pas gue ngajak ngobrol. Kayak ada settingan otomatis: "Panggilan masuk – Mode kantuk diaktifkan." Namanya juga ngantuk, emang bukan salah siapa-siapa. Gue juga nggak minta lebih, Cuma lama-lama sadar sendiri, Kayaknya gue lebih sering nemenin nunggu, Daripada nemenin ngobrol.

Namanya Juga Friendly

Namanya juga friendly, emang baik. Baiknya kayak tukang parkir di minimarket, Nggak ada yang nyuruh, tapi selalu sigap. Kayak SPG mall yang senyum ramah ke semua orang, Bikin nyaman, meskipun akhirnya nggak beli apa-apa. Namanya juga friendly, emang seru. Sama siapa aja bisa ngobrol nyambung, Mau temen lama, temen baru, atau yang tiba-tiba jadi temen. Gue sih santai, nggak mau posesif, Toh katanya cuma ngobrol biasa, Cuma kadang lucu aja, Kenapa obrolan biasa lebih lancar dari chat ke gue? Namanya juga friendly, emang gampang akrab. Kadang lebih akrab sama mereka daripada sama gue, Gue paham, nggak boleh baper, Lagian ini kan cuma di internet. Tapi kok gue ngerasa kayak penonton, Yang cuma dikasih tiket, tapi nggak kebagian kursi? Namanya juga friendly, emang nggak ada yang salah. Gue juga nggak minta apa-apa, Cuma penasaran aja, Sebenernya gue ini siapa? Partner ngobrol juga, atau cuma pengisi jeda?

Namanya Juga Nunggu

Namanya juga nunggu, emang harus sabar. Sabar itu ada batasnya, tapi batasnya kayak sinyal di pedalaman—kadang penuh, kadang ilang. Kayak nunggu buka puasa, menit terakhir berasa sejam. Kayak ngantri di kasir, udah maju satu orang tapi tetep berasa jauh. Kayak nunggu chat dari kamu, yang katanya sibuk, tapi story jalan terus. Namanya juga nunggu, emang harus sabar. Tapi sabar itu kayak teh anget, kalau kelamaan jadi dingin. Aku sabar nunggu kamu sadar, Aku sabar nunggu kamu peka, Aku sabar nunggu kamu kasih kepastian, Tapi lama-lama aku jadi ragu, Aku nunggu kamu, atau aku lagi main tebak-tebakan? Namanya juga nunggu, emang harus sabar. Tapi kalau keseringan, aku mulai curiga. Ini aku yang nunggu kamu? Atau aku yang diajarin ikhlas pelan-pelan? Kalau gini terus, takutnya nanti bukan aku yang ninggalin, Tapi hatiku yang duluan pamit, tanpa bilang-bilang.