Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2025

Ketika Ladang Cuan Mereka Kering, Kita yang Disiram Sampahnya

Gambar
Gue nggak tau harus ketawa atau prihatin. Tiap buka Twitter, yang nongol bukan lagi orang curhat, orang diskusi, atau orang ngelempar insight. Yang nongol tiap scroll justru orang yang sama, dengan pola yang sama, template yang sama, caption yang gitu-gitu aja, tapi sekarang beda—mereka lagi ngeluh. Kenapa? Karena ladang cuan mereka lagi kering. Gaji Twitter mereka mandek. Ada yang dipause, ada yang cairnya dikit, ada yang hilang total. Dan gue cuma bisa mikir, "Loh, kirain kalian ngonten itu karena passion?" Satu sisi, gue ngerti ya, orang kerja pasti pengen hasil. Punya target, punya kebutuhan. Tapi sisi lain, gue juga ngelihat cara mereka ngurus akun tuh udah kayak pabrik. Ada yang punya 3-5 akun centang biru. Ada yang ngaku di bio 'influencer, digital creator' padahal captionnya cuma ngedit dikit dari copas orang. Ada yang lebih niat lagi, rekrut admin buat ngurus akun-akun mereka yang centang biru semua, biar bisa 'nambang' cuan lebih ...

Namanya Juga Ngantuk

Namanya juga ngantuk, emang susah ditahan. Kayak lampu jalan yang padam sendiri, Kayak sinyal hape yang tiba-tiba ilang pas lagi penting. Tiap diajak nelpon, kelopak mata udah turun setengah. Katanya nggak mau begadang, kesehatan nomor satu. Tapi kok YouTube masih jalan? Tiktok masih ke-scroll? Gue masih nunggu? Namanya juga ngantuk, emang manusiawi. Tapi kok waktu luangnya pas mepet jam tidur? Mungkin emang kebetulan, Mungkin emang lagi capek, Atau mungkin… Emang gue cuma bisa kebagian sisa waktu yang hampir habis? Namanya juga ngantuk, emang harus istirahat. Gue sih ngerti, Cuma kadang lucu aja, Ngantuknya baru dateng pas gue ngajak ngobrol. Kayak ada settingan otomatis: "Panggilan masuk – Mode kantuk diaktifkan." Namanya juga ngantuk, emang bukan salah siapa-siapa. Gue juga nggak minta lebih, Cuma lama-lama sadar sendiri, Kayaknya gue lebih sering nemenin nunggu, Daripada nemenin ngobrol.

Namanya Juga Friendly

Namanya juga friendly, emang baik. Baiknya kayak tukang parkir di minimarket, Nggak ada yang nyuruh, tapi selalu sigap. Kayak SPG mall yang senyum ramah ke semua orang, Bikin nyaman, meskipun akhirnya nggak beli apa-apa. Namanya juga friendly, emang seru. Sama siapa aja bisa ngobrol nyambung, Mau temen lama, temen baru, atau yang tiba-tiba jadi temen. Gue sih santai, nggak mau posesif, Toh katanya cuma ngobrol biasa, Cuma kadang lucu aja, Kenapa obrolan biasa lebih lancar dari chat ke gue? Namanya juga friendly, emang gampang akrab. Kadang lebih akrab sama mereka daripada sama gue, Gue paham, nggak boleh baper, Lagian ini kan cuma di internet. Tapi kok gue ngerasa kayak penonton, Yang cuma dikasih tiket, tapi nggak kebagian kursi? Namanya juga friendly, emang nggak ada yang salah. Gue juga nggak minta apa-apa, Cuma penasaran aja, Sebenernya gue ini siapa? Partner ngobrol juga, atau cuma pengisi jeda?

Namanya Juga Nunggu

Namanya juga nunggu, emang harus sabar. Sabar itu ada batasnya, tapi batasnya kayak sinyal di pedalaman—kadang penuh, kadang ilang. Kayak nunggu buka puasa, menit terakhir berasa sejam. Kayak ngantri di kasir, udah maju satu orang tapi tetep berasa jauh. Kayak nunggu chat dari kamu, yang katanya sibuk, tapi story jalan terus. Namanya juga nunggu, emang harus sabar. Tapi sabar itu kayak teh anget, kalau kelamaan jadi dingin. Aku sabar nunggu kamu sadar, Aku sabar nunggu kamu peka, Aku sabar nunggu kamu kasih kepastian, Tapi lama-lama aku jadi ragu, Aku nunggu kamu, atau aku lagi main tebak-tebakan? Namanya juga nunggu, emang harus sabar. Tapi kalau keseringan, aku mulai curiga. Ini aku yang nunggu kamu? Atau aku yang diajarin ikhlas pelan-pelan? Kalau gini terus, takutnya nanti bukan aku yang ninggalin, Tapi hatiku yang duluan pamit, tanpa bilang-bilang.

Menjadi Divergent Thinker di Zaman Modern: Berkah atau Tantangan?

Di era modern yang serba cepat dan penuh standar, menjadi seorang divergent thinker bisa menjadi berkah sekaligus tantangan. Para pemikir divergen memiliki cara berpikir yang berbeda dari kebanyakan orang—mereka melihat banyak kemungkinan dalam satu masalah, tidak terpaku pada aturan baku, dan cenderung kreatif dalam menemukan solusi. Namun, bagaimana cara mereka bertahan dan berkembang di tengah dunia yang lebih menyukai pola pikir linier? 1. Memanfaatkan Kreativitas dalam Pekerjaan Banyak sistem kerja modern menuntut efisiensi dan hasil instan, yang kadang berbenturan dengan cara berpikir seorang pemikir divergen. Namun, dunia digital justru membuka peluang bagi mereka yang mampu berpikir "out of the box." Pekerjaan di bidang kreatif, teknologi, dan kewirausahaan menjadi lahan subur bagi mereka yang memiliki ide liar dan inovatif. Solusinya? Alih-alih memaksa diri untuk bekerja dalam sistem yang terlalu kaku, pemikir divergen bisa mencari jalur yang lebih fleksibel, seperti...